Sayaberharap umat islam tidak menjadi umat yang ritualistik yakni ibadah hanya untuk mencari pahala," kata Ma'mun. Memaknai ibadah tidak selesai pada dimensi ritual, namun umat Islam juga perlu memaknai pada dimensi sosial kemanusiaan. Ibadah puasa sarat akan pesan-pesan sosial. Surat Al-Baqarah ayat 183 sampai 185 menjelaskan tentang
Ibadahritual yang kita lakukan harus merefleksikan sebuah kegiatan-kegiatan yang memberikan pencerahan dan kegiatan penyegaran kepada lingkungan masyarakat. Sholat kita, puasa kita, zakat kita, dzikir kita, tahlil kita tilawah Qur'an kita hendaklah memberikan dampak pengaruh social dalam kehidupan kita. Untuk itulah Rasulullah SAW menyatakan
IbadahRitual dan Ibadah Sosial. Pengejawantahan dari janji tersebut ialah mealaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia mulai berlomba melakukan kebaikan sebagai bukti kepatuhan kepada Tuhan. Maka tak heran di berbagai tempat banyak kita jumpai kegiatan berbau agama yang dengan beragam sebutan atau
. Bisa dikatakan puasa adalah ibadah sosial. Karena, tujuan terbesar diwajibkanya puasa Ramadhan adalah berkenaan dengan problematika sosial. Seperti keadilan sosial, wabah korupsi, kejujuran, amanah dan pengentasan kemiskinan. Sehingga, puasa Ramadan kali ini pun akan memiliki relevansi yang signifikan dengan hiruk-pikuk kondisi bangsa Indonesia saat ini. Puasa bukan sebatas hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, bahkan memiliki hubungan horizontal antara manusia dengan sosial. Agar tidak terkesan basi, saya berusaha mengaitkan hubungan antara puasa dan sosial dengn perspektif baru yang mungkin belum pernah dikaji sebelumnya. Puasa dan keadilan adalah dua hal yang saling berhubungan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainya. Karena jika ditelisik lebih dalam dan rinci, keadilan adalah tujuan dari disyariatkanya puasa itu sendiri. Jika boleh saya katakan, puasa adalah sarana ataupun transportasi untuk menuju tujuan universal Tuhan yang di antaranya adalah keadilan sosial, kejujuran dan kesejahteraan. Begitu pun antara puasa dan korusi. Keduanya memiliki ikatan signifikan yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang yang senantiasa menjalankan puasa, namun enggan untuk menanggalkan sifat korubnya, maka dia tidak bisa dikatakan telah menjalankan inti dari puasa tersebut. Karena inti dari berpuasa adalah meninggalkan berkorupsi itu sendiri. Hal tersebut bisa kita lihat dengan jelas dalam firman Tuhan âHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwaâ QS Al Baqarah 183 Pada ayat tersebut, secara eksplisit Tuhan mengatakan bahwa tujuan diwajibkanya berpuasa adalah âagar kamu bertaqwaâ. Jika demikan, maka sebenarnya inti dari pada puasa tersebut adalah bertakwa itu sendiri. Sehingga, dalam ayat tersebut secara tidak langsung, seolah Tuhan mengatakan, âWahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bertakwa.â 1. Puasa dan Keadilan Takwa âsebagaimana menurut ulamaâ adalah mentaati perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Dan berbuat adil adalah salah satu yang diperintahkan oleh Tuhan. Sebagaimana dalam dalam firman-Nya âSesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.â QS An-Nahl 90 Dengan berbuat adil berarti kita telah mentaati perintah Tuhan, dan mentaati perintah Tuhan adalah makna dari ketakwaan, dan ketakwaan adalah tujuan dari disyariatkanya berpuasa. Berarti, tujuan disyariatkanya berpuasa adalah keadilan itu sendiri. Jika demikian, maka âmenurut sayaâ maksud dari QS Al Baqarah, ayat 183 di atas adalah, seolah Tuhan hendak mengatakan âHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agarâ kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan menjauhi perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.â Sampai disini jelaslah bahwa tujuan puasa adalah agar manusia berbuat adil dan kebajikan lainya kepada sesama. Maka, sangatlah jelas bahwa puasa bukan semata hubungan vertikal manusi dengan Tuhan bahkan memiliki hubungan horizontal dengan sosial. Sehingga puasa bukan hanya bersifat teosentris, bahkan antroposentris. 2. Puasa dan Korupsi Sebagaimana takwa adalah mentaati perintah Tuhan, begitupun menjauhui larangan Tuhan yang berupa korupsi. Korupsi adalah sebentuk kejahatan dengan modus memakan harta orang lain dengan batil. Sehinggga, korupsi merupakan tindakan keji yang secara eksplisit dilarang oleh Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan Tuhan dalam surat Al-Baqarah yang artinya âDan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.â QS Al-Baqarah 188 Menjauhi korupsi adalah menjauhi larangan Tuhan, menjauhi larangan Tuhan adalah ketakwaan, ketakwaan adalah tujuan diwajibkanya puasa Ramadhan. Kesimpulanya, tujuan diwajibkanya puasa Ramadhan adalah menjahuhi tindakan keji berupa korupsi. Sehingga maksud dari surat al-Baqarah, ayat 183 di atas adalah, seolah Tuhan hendak mengatakan âHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu tidak memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil yaitu korupsi.â 3. Puasa dan Pengentasan Kemiskinan Puasa sangat berhubungan dengan pengentasan kemiskinan. Menurut saya, diantara tujuan Tuhan melalui ibadah puasa adalah mengentaskan manusia dari segala kemiskinan. Artinya, mengentaskan kemiskinan termasuk inti dari puasa itu sendiri. Karena sebagaimana yang telah saya katakan di atas bahwa, inti dari puasa adalah takwa, sedang menyejahterakan manusia adalah bagian dari takwa. Dalam literatur fikih, seseorang yang merusakan puasanya dengan ber-making love di siang hari maka dia terkena kewajiban yang diantaranya adalah memerdekakan hamba sahaya ataupun memberi makan threescore orang fakir miskin. Pertanyaanya, kenapa memerdekakan hamba sahaya dan memberi makam fakir miskin? Menurut saya, karena tujuan Tuhan melalui puasa adalah menyejahterakan manusia yang di antaranya dengan memerdekakan budak dan membantu yang tak mampu. Sehingga wajar ketika seseorang merusak puasanya maka hukumanya juga memerdekakan budak dan membantu yang tak mampu. Karena itulah yang sebenarnya diinginkan Tuhan dari puasa yang dirusaknya. Seolah Tuhan berkata, âYang saya kehendaki dari puasa adalah agar kalian meng-sejahterakan manusia. Sehingga, ketika kalian tidak berpuasa, maka kalian pun tetap harus menuejahterakan manusia.â Tuhan berfirman, âDan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya jika mereka tidak berpuasa membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahuiâ QS Al-Baqarah 114 Terlepas dari pro-kontra ulama dalam memahami ayat tersebut saya ingin mengatakan bahwa secara tegas inti ayat tersebut adalah mewajibkan kita agar mengsejahterakan umat manusia. Lalu mengapa dikatakan âdan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahuiâ? Karena menurut saya, berpuasa cakupannya lebih universal daripada sekadar manyejahterakan manusia. Itu pun âjika kamu mengetahuiâ. Wallahu aâlam bish showaab. * Muh Amrullah adalah mahasiswa Al Azhar, Mesir. Penulis aktif di LBMNU Mesir dan tinggal di Nasr City, Kairo, Mesir. Electronic mail [email protected] sumber
mengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosial?jelaskan!âmengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosialmengapa badah ritual dengan ibadah sosial harus sejalanmengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosialMengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosialPenjelasan Lebih Komperhensif dalam Islam Jawaban supaya ibadah tersebut dapat diterima maaf kalo salah mengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosial mungkin alasannya tidak di kehendaki nantinya terjadi bidâah yg jelek krn tdk sesjalan dgn ibadah sosial atau aturan syarak yang ad mengapa badah ritual dengan ibadah sosial harus sejalan karna badah ritual yaitu sebuah badah yg d lakukan suku/etika istiadat daerah itu sendiri ibadah sosoial suatu ibadah yg d kerjakan bersosoial atau berjamaah, mengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosial alasannya keduanya sama2 beribadah Mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial Karena jikalau tiak sejalan dengan ibadah sosial itu hukumnya haram/dihentikan Penjelasan Lebih Komperhensif dalam Islam Jika dipelajari dan diteliti secara mendalam, isi dari Al-Quran terdiri dari dua bagian besar ajaran, yakni ajaran tentang persoalan ibadah individual dan ajaran tentang ibadah sosial. Ibadah mahdhoh merujuk pada ibadah yang dilakukan secara langsung oleh individu dengan Allah SWT melalui tata cara, syarat, dan prosedur tertentu kaifiyat. Hubungan antara manusia dan Allah dalam hal ini disebut dengan hablun minallah menurut Al-Quran. Ibadah sosial merujuk pada ibadah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial. Dalam Al-Quran, hubungan ini disebut sebagai hablul minnannas. Dalam Islam, setiap tindakan yang dilakukan manusia adalah bentuk pengabdian kepada Allah SWT yang bernilai ibadah. Namun, interaksi antar manusia dalam kehidupan sosial juga dapat dianggap sebagai ibadah apabila dilandasi niat untuk mengabdikan diri semata-mata kepada Allah SWT. Sebagai umat Muslim, kita harus menyadari bahwa segala aspek kehidupan dapat menjadi sarana untuk memperoleh keberkahan dan keberlimpahan rahmat dari Allah SWT, asalkan kita melakukannya dengan niat yang benar dan ikhlas. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama mengisi setiap aspek kehidupan dengan pengabdian kepada Sang Pencipta agar hidup kita selalu diberkahi-Nya. Fakta yang tak dapat disangkal adalah bahwa sebagian besar manusia cenderung menganggap ibadah dalam bentuk ibadah mahdhoh khusus sebagai bentuk ibadah yang benar-benar dirasakan dan lebih diutamakan. Ibadah-ibadah seperti shalat, berpuasa, haji, membaca Al-Quran, berdzikir, dan lain sebagainya menjadi fokus utama bagi sebagian besar orang dalam menjalankan ibadah mereka. Namun, sebagai umat Muslim yang taat, kita harus memahami bahwa setiap bentuk kebaikan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan penuh kesadaran sebagai pengabdian kepada Allah SWT adalah bentuk ibadah yang bernilai di sisi-Nya. Oleh karena itu, meskipun ibadah mahdhoh khusus seringkali mendapat perhatian lebih, tidak boleh mengabaikan ibadah sosial yang tak kalah pentingnya dalam mencapai ridha Allah SWT. Mari bersama-sama memperluas pemahaman kita tentang makna sebenarnya dari ibadah sehingga setiap tindakan kita dapat menjadi sarana pengabdian yang sempurna kepada-Nya. Sayangnya, masih banyak yang menganggap bahwa ibadah sosial yang berkaitan dengan interaksi antar manusia dalam kehidupan sosial seperti menjalin hubungan yang baik dengan sesama, membantu orang yang membutuhkan, membantu fakir miskin, memberikan santunan kepada anak yatim, memberikan bantuan saat terjadi bencana, serta membantu memberantas kebodohan dan keterbelakangan, dinilai kurang penting dan terkadang kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan ibadah mahdhah khassah. Sebagai seorang Muslim yang taat, kita harus menyadari bahwa ibadah sosial yang dilakukan dengan niat ikhlas dan penuh kesadaran juga sama-sama pentingnya dengan ibadah mahdhah khassah. Dalam Islam, memberikan bantuan dan berbuat baik kepada sesama manusia termasuk sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan pentingnya ibadah sosial dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita harus memperluas pemahaman kita tentang makna sebenarnya dari ibadah sehingga setiap tindakan kita dapat menjadi sarana pengabdian yang sempurna kepada-Nya, baik dalam ibadah mahdhah khassah maupun ibadah sosial. Dalam al-Qurâan, terdapat ayat-ayat yang mengatur hukum fikih, terutama dalam masalah ibadah mahdhah. Namun, jika dibandingkan dengan ayat-ayat yang membahas tentang persoalan sosial dan persoalan yang berkaitan dengannya, jumlah ayat yang mengatur hukum fikih sebenarnya tidak terlalu banyak. Meskipun begitu, para ulama besar seperti Al-Ghazali, Ar-Razi, dan Al-Mawardi menilai bahwa jumlah ayat hukum tersebut sudah cukup untuk memberikan panduan dalam beribadah kepada umat Muslim. Mereka juga mengajarkan bahwa pentingnya memahami dan mengekstraksi nilai-nilai sosial yang terkandung dalam al-Qurâan sebagai panduan dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan menjalani kehidupan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, sebagai umat Muslim, kita harus dapat memahami dan mengamalkan kedua aspek tersebut dengan seimbang, baik itu dalam masalah ibadah mahdhah maupun persoalan sosial, agar dapat hidup sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam diskusi mengenai jumlah ayat hukum dalam al-Qurâan, para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ibnu al-Arabi menyatakan bahwa jumlahnya sekitar 800 ayat, sementara menurut Al-Ghazali hanya sekitar 500 ayat. Ash-Shanâani bahkan berpendapat bahwa jumlahnya hanya sekitar 200 ayat, dan Ibnul Qayyim memperkirakan hanya sekitar 150 ayat saja. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar isi al-Qurâan, yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat, dan 6236 ayat, membahas dan menjelaskan persoalan-persoalan sosial, memberikan petunjuk-petunjuk, serta menceritakan kisah-kisah umat masa lalu sebagai pelajaran bagi manusia. Kedua jenis ibadah, baik ibadah individual maupun sosial, memiliki nilai yang sama-sama penting dalam Islam. Meskipun jumlah ayat yang mengatur tentang persoalan ibadah sosial dalam al-Qurâan lebih banyak, bukan berarti ibadah individual kurang penting. Keduanya harus diperhatikan dan diamalkan secara seimbang. Oleh karena itu, pandangan yang meremehkan nilai ibadah sosial harus dihilangkan dan kedua jenis ibadah harus ditempatkan pada posisi yang sama-sama berharga dan saling melengkapi.
Assalamualaikum, Bapak-bapak, saudara-saudara, Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,Kembali kita berkesempatan untuk bersyukur dan memuji Allah swt. yang telah menganugerahkan nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan. Selain itu kita panjatkan pula salam dan shalawat kepada rasulullah Muhammad saw. yang telah mendapat amanah untuk menyampaikan dakwah Islamiyah kepada saudara-saudara, Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,Dalam menciptakan mahluk, khususnya jin dan manusia, Allah mengisyaratkan bahwa tujuan dari penciptaan ini adalah untuk beribadah ; wama kholaqtul jinna wal insa illa liyaâbudun, âdan tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.âKarena itu dalam kegiatan sehari-hari maka ibadah merupakan salah satu unsur dari sesuatu yang kita laksanakan. Pada kahikatnya ibadah ini bernuansa individu, misalnya dalam ibadah salat, ketika seseorang sudah bertakbir, allahuakbar, maka kemudian ditindaklanjuti dengan membaca doa iftitah, ada yang mengungkapkannya, inni wajjahtu, kalimat ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya aku menghadapkan diriku, ini bersifat pula ada yang membaca iftitah dengan doa yang lain, allahumma baâid baini wa baina khotoyaya, disini juga bersifat individu ; Ya allah jauhkanlah antara diriku dan semua kesalahan-kesalahanku. Disini tidak satu pun ungkapan-ungkapan itu yang mengisyaratkan doa untuk orang itu ibadah pada hakikatnya bersifat individual. Disitu setiap insan diharapkan dapat melaksanakannya dengan baik, karena ibadah itu akan kembali pula untuk dirinya. Dalam ibadah, tentu banyak doa-doa yang diungkapkan, misalnya dalam salat. Paling tidak ada delapan doa yang kita panjatkan pada Allah. Doa itu semua untuk kepentingan sendiri. Namun sayang, sering kali ke delapan doa dalam satu rangkaian ini tidak dihayati atau mungkin ada pula yang tidak memahami maknanya.Yaitu ketika masing-masing duduk setelah sujud, disitu orang yang salat akan mengungkapkan ke delapan doa tersebut. Rabbighfirli ; ya Allah ampunilah segala dosaku, Warhamni; dan sayangilah aku, Wajburni; dan anugerahkan kebaikan-kebaikan pada diriku, Warfaâni; dan angkatlah derajatku sehingga aku menjadi orang yang dihargai, yang terhormat, bukan orang yang dilecehkan, bukan orang yang dikucilkan, Warzukni, anugerahkan kepadaku rezeki yang banyak yang halal yang baik dan yang memberi berkah, Wahdini; tunjukkanlah padaku jalan yang lurus, Waâafinii; anugerahkanlah kesehatan kepada diriku, Waâfuannii; dan maafkanlah segala doa yang mencakup segala hal yang diperlukan dalam hidup ini, tapi sayang, banyak diantaranya yang ketika menguncapkan rangkaian doa ini dengan cepat-cepat, bahkan ketika bangun dari sujud doa yang panjang ini diucapkan singkat lalu diikuti sujud yang lain. Padahal itu memberikan dorongan batin untruk mencapai apa yang kita inginkan kepada Allah dimensi individual dalam seghala macam ibadah yang kita laksanakan karena pada hakikatnya ibadah itu adalah perintah Allah swt. kepada setiap insan secara demikian, ketika Allah swt. mengungkapkan salah satu ayat dalam surat al-Hujurat ya ayyuhannas inna khalaqnakum min zakari wa unsa, penggalan ayat ini mengisyaratkan walaupun ibadah yang diperintahkan Allah bersifat individual, namun pada sisi lain, setiap manusia mempunyai kecenderungan sosial, kecenderungan untuk hidup bersama. Sehingga ada yang mengungkapkan tidak mungkin seorang manusia akan hidup sendiri.âMungkin pernah ada cerita Robinson Crusoe roman karya penulis Inggris Daniel Defoe ketika terdampar dia harus hidup sendiri. Tapi pada akhirnya Robinson pun tidak hidup sendiri. Ada pula temannya dalam kisah-kisah beri nama fraidi. Nah ini berarti bahwa kalaupun ibadah bersifat individual, namun jangan pula lupa untuk selalu hidup bernuansa itulah Rasulullah saw. dalam pesannya sholatun jamaati afdolu min sholatil fadzi salat sendirian yang dilakukan secara individu ternyata nilanya kalah dibanding dengan salat jamaah. Sehingga Rasul berpesan, salat jamaah itu lebih baik ketimbang salat sendirian, dengan adanya 27 kali lipat kebaikan yang akan diterima setiap mereka yang ikut berjamaah ini mengistyaratkan bawha meskipin salat itu ibadah individual, akan menjadi lebih baik bila dilaksanakan secara berjamaah. Lebih-lebih ketika tuntunan Rasul ketika salat, pada saat allahuakbar maka ketika itu pula masing-masing individu dianjurkan untuk memutus hubungan, menghilangkan komunikasi,dengan siapa saja. Bahkan dianjurkan, jangankan komunikasi yang berupa verbal, yang terdapat dalam pikiran pun dianjurkan untuk itu hanya dirinya dan Allah yang ada. Sehingga seseorang yang dapat meningkatkan kualitas salatnya hanya tertuju pada Allah swt., maka inilah kualitas yang terbaik, yang disebut sebagai kuaitas khusyuk. Dan khusyuk merupakan salah satu atau ciri utama dari orang-orang yang dapat disebut benar-benar mengisyaratkan dalam surat al-Mukminun ; Qod aflahal muâminun, alladzinahum fi shollatihim khoosyiâun âSungguh beruntung orang yang benar-benar berimanâ. Dalam al-Qurâan ada dua kata untuk orang beriman. Yang pertama disebut alladzina amanu, diartikan dalam Bahasa Indonesia orang-orang yang beriman. Dan kedua al-mukminun, juga orang orang yang dalam kaidah tafsir, ternyata ada perbedaan diantara keduanya. Kalau alladzina amanu bisa menyangkut semua orang beriman, baik dia yang soleh atau yang tidak soleh. Yang selalu melaksanakan salat maupun yang jarang atau tidak pernah salat. Selagi dia mengucapkan Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, maka dia sudah beriman, dan termasuk alladzina amanu, tapi belum menjadi al-mukminun, karena salah satu karakter al-mukminun adalah alladzinahum fi shollatihim khoosyiâ dari itu ciri pertama dapat pula untuk mengukur diri sendiri , sudah saya menjadi al-mukminun atau baru sekedar menjadi alladzina kemudian, salat yang mestinya ditingkatkan pelaksanaannya menjadi salat yang khusuk untuk individu maka pada saat salat itu berakhir, Rasulullah memberikan tuntunan untuk mengucapkan salam. Saat mengucapkan salam, sambil diawali dengan menengok ke kanan kemudian menengok ke kiri. Ini artinya adalah bahwa ketika mengucapkan salam, seolah-olah kita dianjurkan mendoakan mereka yang ada di samping kanan atau kiri kita. Sehingga pada awalnya salat adalah masalah individu, tetapi selesai salat kita dianjurkan untuk kembali kepada fakta kehidupan, yaitu ini diawali dengan mendoakan; assalamualaikum warahmatullah baik kepada manusia maupun mahluk halus yang ada di samping kita. Dan diiringi dengan ucapan salam ke samping kiri. Ini artinya kita dikembalikan kepada kehidupan nyata, yaitu bertetangga, berteman, bermasyarakat. Kalau ibadah salat demikian, begitu pula yang terdapat dalam ajaran ibadah-ibadah yang lain. Ibadah zakat, ini juga dalam rangka kepedulian sosial. Ibadah puasa yang juga sifatnya individu namun dalam ibadah puasa itu ada anjuran-anjuran untuk menyempurnakannya dengan kebaikan-kebaikan pada bulan Ramadhan; banyak bersedekah, banyak menolong orang, banyak berinfak, ini dalam rangka dimensi sosial dari ibadah-ibadah individual tersebut. Ibadah haji demikian pula, sehingga mereka yang sudah berhaji dan umroh, tidak bisa dia bersifat individual. Pasti akan terkait dengan orang-orang lain yang juga melaksanakn ibadah, ataupun yang mendukung pelaksanaan ibadah sinilah tampaknya petunjuk tuntunan ajaran Allah swt. saling terkait. Yang kita teliti banyak yang bersifat individu, namun dibaliknya tercakup pula makna-makna sosial. Disitulah kita dalam kehidupan ini tidak dapat mengabaikan teman, saudara, masyarakat yang ada disekitar kita. Sehingga dengan ibadah itu kita dituntun untuk memiliki kepedulian sosial. Dengan demikian, hal-hal yang kita lakukan tidak hanya tertuju pada diri kita, tetapi juga kebaikan-kebaikan orang salat mengapa seseorang dianjurkan untuk meluruskan saf dan merapatkannya ini menujunkann bahwa merapatkan barisan itu sebagai indikasi memberi kesempatan pula kerpada orang lain yuntuk melaksanakan ibadah. Karena itu ibadah yang dianjurkan Allah swt. dalam beragam dimensinya pasti mencakup dua hal; yakni individual dan sosial. Hal ini dalam rangka membina diri kita agar memiliki kepeduliaan sosial terhadap sesama. Sejauh manakah ibadah yang bernuansa dua dimensi ini kita laksanakan?Semoga semua itu dapat membina diri kita menjadi orang yang punya empati terhadap lingkungan kita.âDisampaikan oleh Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. dalam khutbah Jumat di Mall Bellagio pada 24 April 2015.
Selama ini, tidak jarang kita jumpai orang-orang yang rajin serta tekun menjalankan aktivitas ibadah ritual, seperti sholat, puasa, haji, serta ibadah-ibadah ritual lainnya, yang menunjukkan tingkat kesalehan individu atau kesalehan pribadi, tetapi berbanding terbalik dengan aktivitasnya dalam ibadah-ibadah sosial. Mereka tidak memiliki empati terhadap orang lain, tidak peduli dengan kondisi lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka apatis terhadap persoalan sosial yang dihadapi oleh warga di sekitar tempat mereka tinggal. Kesalehan ritual individu yang mereka miliki tidak sejalan dengan kesalehan al-Qurâan mengajarkan pentingnya hubungan dengan Allah hablun min Allah dan hubungan dengan sesama manusia hablun min an-nas. Ibarat dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan dengan Allah harus terjalin dengan baik, pun demikian halnya dengan hubungan sesama manusia, harus berjalan dengan baik pula. Dengan kata lain, kesalehan ritual-individual harus sejalan dengan kesalehan fenomena yang kita dapati jauh panggang dari api. Betapa banyak kita jumpai orang-orang yang tampak saleh, kerap menunjukkan simbol-simbol agama, tetapi justru menodai agama dengan perilaku tercela. Shalat setiap hari, tetapi korupsi tak pernah berhenti. Haji dan umrah berkali-kali, tetapi abai dan tidak peduli dengan nasib para mustadhâafin, kaum fakir miskin. Rajin mengunjungi majelis taklim tetapi juga rajin menggunjing, memfitnah, menebar benci di demikian kenyataannya, izinkan saya sekadar bertanya, untuk apa shalat jika hanya sebatas menggugurkan kewajiban ritual formal semata tanpa makna? Padahal, inti dari shalat adalah mencegah perbuatan keji dan munkar. Untuk apa bolak-balik pergi haji dan umrah dengan biaya yang tidak sedikitâpadahal Rasulullah Saw. sendiri hanya melaksanakan Haji sekali seumur hidupnya, dan umrah hanya dua kali sepanjang hayatnyaâ tetapi tidak peka dan tidak peduli dengan nasib para fakir miskin? Apa manfaatnya rajin menghadiri pengajian, majelis taklim, jika tidak ada dampak sedikit pun dalam mengubah akhlak menjadi lebih baik?Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut ada pada diri kita masing-masing. Dan itu akan menunjukkan seperti apa sesungguhnya kualitas diri kita yang penulis, setelah ibadah ritual kita lakukan, setelah kesalehan individu personal kita tampakkan, maka langkah selanjutnya adalah menerjemahkan makna ibadah-ibadah tersebut dalam kehidupan sosial kita. Inilah yang kemudian disebut dengan kesalehan antara wujud kesalehan sosial adalah lahirnya sikap cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Dianggap sia-sia ibadah ritual seseorang, jika tidak disertai dengan ibadah sosial. Rajin shalat jamah di Masjid, harus diimbangi dengan rajin sedekah, peduli dengan nasib kaum mustadhâafin. Rutin mengaji harus disertai dengan rutin berbagi kepada saudara dan tetangga yang membutuhkan. Tekun bermunajat memohon pertolongan Allah harus dibarengi dengan tekun memberi pertolongan kepada orang lain. Aktif mencari ilmu harus diikuti dengan aktif menyebarkan serta menyampaikannya kepada orang wujud nyata dari kesalehan sosial. Sehingga hadirnya seseorang di tengah masyarakat, dapat memberi arti, makna serta manfaat bagi orang lain di pesan Nabi Saw, âSebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lainâ. HR. Ahmad.* Ruang Inspirasi, Ahad, 16 Januari
mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial